Perjalanan IPNU dari masa ke masa
IPNU Pasca Kongres Jombang 1988
Perubahan zaman memang tidak bisa dihindari, tetapi dihadapi dan dilaksanakan , pernyataan itu, berlaku untuk siapa dan apa saja, termasuk juga organisasi IPNU. Tahun 1998, saat kongres ke-10 di jombang, IPNU harus menghadapi perubahan zaman. Hal ini cukup berdampak luas bagi keberadaan (eksistensi) IPNU ke depan. Perubahan ini, setidaknya bersumber awal dari UU nomor 8 tahun 1985 yang ‘membabi buta’ dalam penerapan aturan tentang keormasan di Indonesia. Azas dan Nama perubahan, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU, tapi, hakekatnya tetap, seperti tujuan, sasaran kelompok dll.
Kependekan nama IPNU dari IKatan Pelajar Nahdlatul Ulama berubah menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Bahkan ketika itu, tidak saja perubahan kependekan ‘P’ termasuk dua huruf dilakangnya ( NU) juaga harus dihapuskan. Karena, hal itu dianggap sebagi bawahan ( underbouw) partai tertentu ( ingat, tahun 1950-an NU menjadi partai sendiri ). Syukur Alhamduliilah, pada kongres itu akhirnya diputuskan untuk tetap menjadi IPNU, hanya ‘P’-nya saja berubah ; dari Pelajar menjadi Putra. Hal serupa juga, terjadi pada organisasi pelajar manapun, selain PII, Pelajar Islam Indonesia.
Dengan berubahnya kependekan “P”, berubah pula orientasi dan sasaran binaanya IPNU. Dari pelajar dan Mahasiswa sebagai sasaran utama, berubah untuk dapat membina juga remaja yang tidak sekolah. Dapat disebut, setelah kongres Jombang tahun 1988 hingga Kongres Garut tahun 1996 adalah masa Transisi yang bekepanjangan. Satu misal adalah tidak pernah sampainya pemahaman yang sama tentang orientasi bidang garap IPNU, berikut skala prioritasnya. Pada masa itulah terjadi tarik menarik antara kepentingan politik praktis (politisasi IPNU) dengan prioritas program untuk membenahai warga IPNU sector awal berdirinya IPNU; santri dan pelajar. Hal ini, ternyata berdampak pada proses pengkaderan yang pelan-pelan semakin hilang dari pesantren atau sekolah ma’arif NU.
IPNU kembali ke Khittah 1954: Deklarasi Makasar 2000
Melihat
kenyataan IPNU yang masih dalam masa transisi diatas, maka dalam
menyambut millennium ke III, tahun 2000 di Kongres IPNU ke 13 di
Makasar, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama (common sense)
secara kolektif. Seakan-akan ada hal yang baris telah kembali lagi,
yakni sesuatu yang terasa hilang, yakni pada tahun 1988. sesuai
deklarasi Makasar 2000 dan hasil Kongres 13, adalah bahwa IPNU kembali
pada visi kepelajaran, lalu menumbuh-kembangkan IPNU pada basis
perjuangan; Sekolah dan Pondok Pesantren, dan terakhir mengembalikan CBP
(Corp Brigade Pembangunan) yang lahir 1965 sebagai kelompok
kedisiplinan, kepanduan dan kepecinta alaman. Semua itu dalam rangka
mencapai tujuan IPNU, yaitu terbentuknya Pelajar-Pelajar bangsa yang
bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak muli dan berwawasan
kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat
Islam menurut faham Ahlussunnah waljamaah yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Menegaskan Khittah 1954 pada Kongres XIV 2003 (Surabaya)
Deklarasi
Makasar 2000 sebagai tonggak awal mengembalikan IPNU pada orentasi
garapan ternyata belum mampu mengakhiri problematika tersebut. Pada
Kongres IPNU ke 14 di Surabaya, para kader IPNU memunculkan kesadaran
bersama. Kesadaran itu adalah untuk merubah nama dan sekaligus visi
kepelajaran dan orientasi pengkaderan IPNU, khususnya di Pesantren dan
sekolah-sekolah. Artinya kongres telah mengembalikan IPNU pada garis
perjuangan yang semestinya. Secara popular, hal tersebut dikenal dengan
nama Khittah 1954. dengan demikian, perlahan tapi pasti, IPNU
berkesempatan untuk mengembalikan masa keemasan yang telah hilang,
seperti 15 tahun yang lalu. Akan tetapi, kesadaran itu pun sebenarnya
rentan, bahaya bila momen itu tidak digunakan dengan sebaik-baiknya dan
seoptimal mungkin oleh semua jajaran NU, khususnya IPNU, lebih khusus
lagi pesantren (baca: RMI) dan Ma’arif.
continue reading